Jika hidup tentang memilih opsi agar dapat dinikmati maka memilih mati ialah salah satu hak asasi yang harus dihormati, namun apalah memilih mati apabila diriku tidak pernah benar-benar hidup, semua filosofi tentang masa depan dan mimpi hanyalah candu yang diromantisasi karena selalu absurd dan dipaksa agar jelas terdefinisi.
Demi Dzat maha sempurna yang mempunyai kuasa atas urat
nafasku, obsesiku terhadap mati adalah nikotin dalam paru-paru hariku dalam hidup
di muka bumi, jika bila mati nanti semua akan jelas terdefinisi siapa yang berada
di sisi maka apalah arti setiap tragedi bilamana semua yang aku jalani hanya skenario
komedi illahi.
Pasca diriku mati di hari ini atau di suatu hari nanti
maka iman kepada illahi akan mati, rasa pada kekasih dan orang terdekat sudah
tidak ada lagi, dan cerita dapat dijemput sebagai duka maupun suka tentang
matinya diri ini semua tergantung siapa yang akan berada di sisi kala diriku
mati.
Jika bunuh diri dianggap sebuah kesalahan lantas mengapa
orang yang diberi kesempatan lahir untuk hidup sering kali menganggapnya dirinya
sebagai kesalahan, maka tidak heran bila bunuh diri mungkin akan terlintas dan menampakan
diri sebagai jawaban dan juru selamat bagi diri ini terhadap segala macam
rentetan kegelisahan dan kerumitan dalam berkehidupan.
Namun jika katanya surga dan neraka dapat dicapai pasca
diri mati namun bagiku untuk keduanya sepertinya telah tersaji jelas di atas
muka bumi, segala macam bentuk nikmat dan sengsara berdampingan di tengah
acuhnya lingkungan, dan keperdulian adalah satu-satunya sumber kenikmatan yang
dapat dengan jelas untuk dirasakan bagi penghuni pentas surga – neraka.
Cepat atau lambat perihal mati atau bunuh diri adalah sebuah
hal pasti yang akan segera terimplementasi bagi diri ini yang mungkin akan jelas
pada hari ini, detik ini, sore atau esok nanti, dan bilamana mati menjelang
maka berpamitlah diriku menitip suka dan duka pada cerita penuh cinta pada
kenangan kita wahai kekasih.
0 komentar:
Posting Komentar