Memoar

Jumat, 07 Juni 2024

aku mencintaimu lebih dari buku
dari lubuk terjauh sanubari yang dihantam rindu
memilih menolak mati dari rotasi ngeri sang waktu
sebagaimana obituari di awal bulan tujuh 

lantas bagaimana rasa terjauh dari merindu
kala aku dan kamu kini tidak lagi menjadi satu
maka persetan anggapan mati satu tumbuh seribu
karena seribu tidak bisa menggantikan yang satu

persetan dengan apa yang Pak Sapardi kata
untuk mencintaimu dengan sederhana
kuingin mencintaimu sepenuhnya
meski engkau begitu rumitnya

seperti aksara yang mempunyai dalamnya makna
dalam setiap cerita yang kita bagi menjelajah timur Jakarta
aku harap waktu bisa berjalan selambat cruiser 200 ku di jalan kota
untuk dapat menemani playlist Neck Deep mu pada Desember terakhir ku bersama

meski aku tidak bisa melihat masa depan bersama mu di sana
namun aku bersumpah kepada mata pena dan kertas pustaka
menjadikanmu ibu bagi anak kalimat pengantarku di kala
dunia dan wajah kota kini terlalu berdosa 

aku si gila yang memutilasi setiap cover buku di Gramedia
seumpama pecandu sastra berupaya membebaskan aksara
dengan setengah mabuk merancu tentang Valhalla 
mencipta puisi tentang mu dengan bahasa Yang dibenci oleh surga, neraka dan tentara

aku mengingat setiap momentum bersama mu yang pernah hadir
pada tunggal hidup yang menolak tunduk pada takdir
hingga syair yang tidak akan habis bila ditafsir
sehingga tidak ada alasan tersisa untuk merasa khawatir

dalam prototipe anak muda yang rutian keluar rumah
aku sadar tidak bisa mencintaimu dengan sederhana
tak seindah dan semudah fabel yang dibaca dari kacamata Rahwana
bagai dialektika tanpa etika sepatu kaca Cinderella yang telah tiada

lebih baik aku hidup dan mati di bait puisi
sejak mencintaimu adalah sajak abadi dalam teologi Ilahi
tanpa kompetisi, tanpa saling rebut posisi 
mengabadikanmu adalah bentuk terindah dari puisi

kuingin memenuhi namamu di buku harian
sebagai objek merindu untuk mencipta karya tulis tangan
walau kini hanya berakhir sebagai kenangan
setidaknya kita pernah bersama di luar gagasan

kuingin mencintaimu sepenuhnya
sebagaimana Zarathustra menemui keliarannya
walau terlalu indah untuk tumbuh subur di dunia
atau terlalu sempurna untuk diberikan kepada manusia

kuingin mengabadikanmu sekekalnya
seradikal Ted Kaczynski dalam manifesto bom waktunya
walau yang ada hanya tinggal menunggu sakit tiba
setidaknya hadirmu tetap ada dalam cerita

dari kota kembang hingga langit Matraman 
tentang keadaan yang selalu di luar dugaan
ada sisipan bahwa hidup bukan tentang kepastian
sebagaimana Marx dan Stalin di hadapan krisis pangan

di tembok kota yang menjadi saksi ragam jenis dosa
ku persembahkan sebuah puisi tercela 
kepada wajah para martir muda
yang dikapitalisasi Nike dan Coca-Cola

dengan lugas dibaca di hadapan Fukuyama
bahwa Romantisme belum mati di era Kaliyuga
dan setiap pelukan berakhir dengan tanda tanya
kala negara dan agama terlalu mendikte urusan cinta

0 komentar:

Posting Komentar