Jurnal intifadah

Selasa, 31 Oktober 2023

Sudah puluhan tahun berlalu namun arah masih tetap sama Palestina masih dihakimi tanpa melihat fakta, dianggap orang asing di tanah sendiri, digayang Zionis di negeri sendiri. Sungguh sebuah ironi di kota suci tiga agama ratusan ribu nyawa tertimbun tak butuh peti dan isak tangis anak istri bagai simfoni mengiringi kematian orang terkasih.



Seakan tidak punya rasa malu media memodifikasi kenyataan yang ada pada ruang dan waktu, membuat mereka yang berhijad dinyatakan sebagai penjahat dalam intifadah. Hingga upaya diplomasi yang hanya berujung menunda besarnya rasa kecewa dan sakit hati atas aksi perampasan hak hidup untuk yang kesekian kalinya lagi dengan berbagai intrik.



Sebuah kobohongan di atas kebohongan untuk menutupi isu kejahatan kemanusiaan dengan dalih pertahanan. Menghapus definisi kombatan dan non-kombatan menjadi suatu bentuk persamaan, menjadikan semua kalangan adalah lawan dan memaknai setiap bangunan adalah tempat persembunyian sehingga dianggap layak dan legal untuk dihancurkan tanpa peduli berapa banyak keluarga yang ada di dalamnya.



Dunia hari ini telah memilih untuk menjadi buta dan tuli tentang apa yang terjadi saat ini selayaknya nostalgia lama Sabra – Shatila dan ribuan nyawa yang hilang di dalamnya. Yang terjadi di Palestina hari ini adalah bentuk nyata penjajahan kemanusiaan yang telah melebihi sebuah konflik berdasarkan isu rasial maupun basis agama.



Serupa genosida swastika dan Nazi yang kini telah hadir dalam terbitan Zionis berlabel bintang David yang menjadi pijakan bagi para Kapitalis dan Illuminati. Lantas apa guna makna yang ada pada seremoni monumen Yad Vashem jika para Ekstrimis dan Zionis itu telah memilih menjadi pelaku utama dari tragedi berdarah.



Mereka seakan tidak lagi mempunyai rasa malu seperti rudal yang menyentuh tubuh Syekh Ahmad Yasin dan peluru yang bersarang di tubuh Abdel Aziz Al-Rantisi yang menjadi motivasi bagi para singa Tauhid untuk makin yakin untuk tetap berdiri tegak di garis depan dan hanya datangnya kematian sebuah aksi akhir dari perlawanan kita.

 

 

Abadilah Dosa Inggris yang memberi dukungan penuh dalam deklarasi Balfour, Sepenuh kami jauh di sini memberi dukungan penuh untuk setiap lemparan batu dan ketapel para syuhada yang mengutuk Ariel Sharon beserta berbagai macam kroninya yang tanpa sopan mengunjungi Al-Aqsa tanpa permisi lengkap dengan penjaga yang senantiasa siap mengeksekusi siapa saja.



Ingatlah setiap inci ruang dan setiap detik waktu dari kejadian di saat dosa-dosa besar itu di kala pasukan barbarik IDF mulai datang berbondong-bondong lengkap dengan laras senapan di tangan, berbaris rusuh memaksa masuk untuk menghambur peluru membuat warga dan anak jatuh dan terbaring meregang nyawa di dalam rumah Tuhan.



Bagai Razan Al-Najjar yang dipaksa peluru untuk menjemput kemuliaannya di usia muda menjadi Martir, entahlah bagaimana bentuk syair yang paling sempurna untuk mengabadikan namanya dalam puisi-puisi perlawanan yang akan terus lahir dan tumbuh subur walau raga senantiasa digempur dua empat pertujuh bagai teduhnya doa dalam khusyunya jiwa pada ibadah lima waktu.



Kami sepenuhnya mengutuk setiap rudal di daerah pendudukan sebagaimana kami mengutuk setiap kosa kata yang keluar dari mulut Ashi Wirathu dalam setiap pidato, Setegas dan selantang Hugo Chavez kepada muka amerika yang tidak lebih masih merupakan sosok iblis yang bermanuver dengan piawai untuk mamainkan peranannya sebagai Polisi Dunia yang buta mata.



Palestina kalian tidak sendiri, walau dengan buku bekas dalam aksi milisi kecil pegelaran lapakan perpustakaan jalanan kami akan membagikan kebenaran. Walau dengan coretan grafiti vandal di tembok kota kami akan abadikan puisi tentang suka dan duka secara tercela. Meski dengan poster ringkih kami akan terus menyuarakan anti kekerasan dari segenap marahnya sebuah perlawanan.


    

Walau dengan kain lusuh yang mulai menghitam kami akan terus mengkibarkan rasa dalam dukungan, meski dengan bermodal foto kopian pamflet dan zine tak berwarna yang kami bagikan di perempatan kami akan terus menguatkan, di hadapan pesimisnya ketidakmungkinan kami akan rubuhkan tembok batasan untuk menjemput harapan dalam gemuruh palagan.

0 komentar:

Posting Komentar